Jakarta, pelita.co.id - Untuk kali pertama, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif (SINDIKASI) menggelar peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day serentak yang diikuti ratusan pekerja media dan industri kreatif di lima kota yakni Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar, dan Surabaya pada Rabu, (1/5/2024).
Dalam momentum ini, SINDIKASI menilai selama sepuluh tahun terakhir negara tak memiliki kemauan politik dalam menciptakan ekosistem kerja layak bagi pekerja media dan industri kreatif. Alih-alih mewujudkan kerja layak, negara justru memilih memperdalam kerentanan pekerja media dan industri kreatif dengan melahirkan Undang-undang Cipta Kerja yang terbukti merugikan kelas pekerja Indonesia.
“Keberadaan 7,2 juta pekerja ekonomi kreatif hanya muncul dalam data statistik negara namun perannya tak diakui dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 Tentang Ekonomi Kreatif. Pengembangan strategi kebudayaan, ekonomi kreatif, dan ekosistem media pun belum mempertimbangkan aspek kesejahteraan pekerja. Seolah pekerja seperti himpunan kosong yang tak dianggap dalam pembuatan kebijakan negara” ungkap Ketua Umum SINDIKASI, Ikhsan Raharjo.
Padahal, SINDIKASI menilai pekerja industri kreatif Indonesia sedang mengalami flexploitation atau kerentanan yang khas dialami seseorang yang bekerja dalam hubungan kerja non standar atau fleksibel seperti pekerja lepas (freelancer), mitra, dan konsultan. Hal ini dicirikan dengan lemahnya pelindungan hukum, ketiadaan jaminan sosial, jam kerja berkepanjangan (overwork), upah tak layak, dan ketidakjelasan masa depan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut rata-rata upah pekerja ekonomi kreatif pada 2021 hanya Rp 2,2 juta per bulan atau lebih rendah dari rata-rata upah minimum provinsi dan lebih kecil dari rata-rata upah dari seluruh sektor industri. Situasi ini memaksa pekerja mesti bekerja lebih dari satu pekerjaan sekaligus hingga akhirnya memiliki jam kerja panjang dan seringkali freelancer harus menanggung risiko kerjanya sendiri.
“Riset kami menemukan 70,9 persen responden menyatakan pemberi kerja mereka tidak menanggung risiko kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Hanya 23,6 persen responden yang terlindungi asuransi swasta, sementara 56,36 persen tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan dan 23,64 persen tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan,” ungkap Koordinator Divisi Riset dan Edukasi Zulyani Evi.
Sementara itu, Koordinator Divisi Gender dan Inklusi Sosial Selira Dian juga menggarisbawahi ekosistem kerja para pekerja media dan industri kreatif yang masih belum aman dari kekerasan seksual.
Riset terbaru SINDIKASI menemukan, sebanyak 37,63 persen responden pernah mendengar adanya kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja. Sebanyak 29,03 persen bahkan responden pernah memiliki pengalaman langsung atas kasus-kasus pelecehan dan kekerasan di dunia kerja.
Koordinator Divisi Advokasi Guruh Riyanto menyoroti isu pekerja muda seperti penyalahgunaan praktik pemagangan demi mendapatkan pekerja beru