SURAT TERBUKA
YANG TERHORMAT BAPAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
IR. JOKO WIDODO
Dengan segala hormat, saya, Rismon Hasiholan Sianipar, seorang ahli forensik digital, mengambil kesempatan ini untuk mengungkapkan kekhawatiran mendalam mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara kita tercinta.
Pada tahun 2016, saya terlibat sebagai saksi ahli dalam persidangan yang melibatkan Jessica Kumala Wongso, yang mendapat sorotan luas dari masyarakat. Selama proses hukum tersebut, terjadi serangkaian tindakan yang sangat meresahkan, dimana Inspektur Jenderal Polisi Krishna Murti, menggunakan wewenangnya secara tidak wajar dengan menahan Jessica Kumala Wongso di sel isolasi selama empat bulan dalam kondisi yang tidak manusiawi—kondisi yang secara luas dianggap sebagai "sel tikus."
Selama masa penahanan tersebut, Jessica Kumala Wongso mengalami tekanan psikologis yang intens. Lebih lanjut, saya membuktikan bahwa Inspektur Jenderal Krishna Murti sengaja memanipulasi bukti video CCTV, yang notabene adalah komponen penting dalam sistem peradilan kita, untuk secara tidak sah mengimplikasikan Jessica dalam sebuah tindak pidana.
Tindakan ini tidak hanya mencoreng keadilan dan integritas sistem hukum kita, tapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang bertujuan melindungi hak dan martabat setiap individu.
Saya ingin menekankan pada tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh manipulasi bukti video CCTV dalam kasus yang melibatkan Jessica Kumala Wongso. CCTV yang telah direkayasa tidak hanya mempengaruhi jalannya penyelidikan tetapi juga memiliki dampak luas pada kesimpulan yang diambil oleh berbagai profesional hukum termasuk saksi fakta, ahli forensik digital, psikolog, kriminolog, dokter forensik, ahli pidana, dan bahkan hakim yang memutuskan perkara.
Manipulasi video tersebut melibatkan pengurangan resolusi dan frame rate yang disengaja. CCTV yang asli, dengan resolusi 1920x1080 pixel dan 25 frame per detik, sengaja diubah menjadi 960x576 pixel dengan 10 frame per detik. Tindakan kesengajaan ini merupakan perbuatan merusak barang bukti digital yang mengakibatkan hilangnya data spasial maupun temporal dan hanya menyisakan informasi sekitar 10 persen. Tindakan ini secara signifikan mengurangi kualitas dan kejelasan gambar, sehingga menyulitkan pengidentifikasian objek-objek krusial pada video, serta mempersulit rekonstruksi kejadian secara akurat. Efek buram dan video yang terputus-putus menyebabkan bukti visual menjadi tidak kredibel.
Dalam konteks forensik, rekayasa ini mempengaruhi kredibilitas dan validitas analisis para ahli. Misalnya, psikolog yang mengandalkan informasi visual dan pola perilaku dari video untuk menilai keadaan mental, niat, dan tindakan subjek menjadi tidak akurat. Reduksi detail visual mengganggu penilaian psikologis, yang bisa mengarah pada kesimpulan yang salah mengenai motif atau keadaan psikologis terdakwa.