Gajah Mada (lahir ca. 1290 – wafat ca. 1364), dikenal juga dengan nama lain Jirnnodhara[3] adalah seorang panglima perang dan patih yang sangat berpengaruh pada zaman kerajaan Majapahit.[4][5][6] Menurut berbagai sumber puisi, kitab, dan prasasti dari zaman Jawa Kuno, ia memulai kariernya tahun 1313, dan semakin menanjak setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti pada masa pemerintahan Sri Jayanagara, yang mengangkatnya sebagai Patih.[4] Dia diangkat menjadi patih (perdana menteri) pada masa Ratu Tribhuwanatunggadewi dan karirnya berlanjut hingga masa kekuasaan Hayam Wuruk yang mengantarkan Majapahit ke puncak kejayaannya.[7]
Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton.[8] Ia menyatakan tidak akan memakan palapa sebelum berhasil menyatukan Nusantara. Meskipun ia adalah salah satu tokoh sentral saat itu, sangat sedikit catatan-catatan sejarah yang ditemukan mengenai dirinya. Wajah sesungguhnya dari tokoh Gajah Mada, saat ini masih kontroversial.[9] Banyak masyarakat Indonesia masa sekarang yang menganggapnya sebagai pahlawan dan simbol nasionalisme Indonesia[10] dan persatuan Nusantara.[11
Penggambaran Gajah Mada sebagai arca, kanan ke kiri:
Arca Brajanata, di Museum Nasional Indonesia, No.5136/310d.
Arca Bima, No.2776/286b.
Penggambaran rupa Gajah Mada yang populer di media sebenarnya adalah imajinasi dari Mohammad Yamin, di bukunya yang berjudul "Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara", terbit pertama kali tahun 1945. Pada suatu hari di tahun 1940-an, Yamin mengunjungi Trowulan untuk melihat lokasi bekas kerajaan Majapahit. Ia menemukan pecahan terakota, salah satunya celengan berupa wajah seorang pria berwajah gempal dan berambut ikal. Berdasar bentuk muka wajah celengan itu, Yamin menafsirkan seperti itulah wajah Gajah Mada sang pemersatu Nusantara. Yamin kemudian meminta seniman Henk Ngantung membuat lukisan seperti terakota tersebut. Hasil lukisan lalu dipampang sebagai sampul muka buku karya Yamin. Banyak orang yang menentang pendapat Yamin, karena mustahil wajah tokoh sebesar Gajah Mada dipampangkan di celengan. Hal semacam itu adalah penghinaan karena biasanya para pemuka negara pada zaman Hindu Buddha, termasuk Majapahit, diarcakan. Beberapa orang bahkan yakin bahwa wajah yang disangka Gajah Mada itu tidak lain adalah wajah Yamin sendiri.[12]
Ada pula gambaran lain soal sosok Gajah Mada, berbeda dari yang diilustrasikan M. Yamin, yakni hasil penelitian arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar. Dia mengilustrasikan Gajah Mada selayaknya sosok Bima dalam pewayangan, yakni berkumis melintang.[13] Dalam media populer, Gajah Mada kebanyakan ditampilkan bertelanjang dada, memakai kain sarung, dan menggunakan senjata berupa keris. Meskipun ini mungkin benar dalam tugas sipil, pakaian lapangannya mungkin berbeda: Seorang patih Sunda menerangkan, seperti yang tertulis dalam kidung Sundayana, bahwa Gajah Mada mengenakan karambalangan (lapis logam di depan dada—breastplate) berhias timbul