SEMARANG, KOMPAS.TV - Aktivis Lingkungan Green Solidarity Semarang, Theresia Tarigan menilai sedikitnya ruang terbuka hijau menjadi salah satu faktor penyebab banjir ketika terjadi hujan deras. Pada dasarnya, setiap kota membutuhkan setidaknya sejumlah 30 persen ruang terbuka hijau dari keseluruhan jumlah luas wilayah kota. Sementara untuk Kota Semarang, ruang terbuka hijau hanya tersedia 17 persen sehingga masih sangat rendah.
Minimnya ruang terbuka hijau mengakibatkan terganggunya sistem distribusi air, sehinga hujan yang turun cukup deras dalam waktu lama tidak bisa terserap dengan baik di dalam tanah dan menimbulkan luapan air yang menggenangi jalan.
Pemanfaatan lahan dipinggiran jalan dengan menaman pepohonan dapat membantu penyerapan air secara langsung ke dalam tanah ditambah penyediaan ruang untuk masyarakat pejalan kaki, banyaknya masyarakat yang memilih berjalan kaki dan menggunkana transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi, dapat mengurangi resiko kemacetan dan pencemaran polusi.
"Kota kita (Semarang) kurang mampu menyerap air sehingga airnya langsung menuju ke daerah rendah. Seharusnya rumah itu juga bisa untuk menyerap air namun kenyataannya banyak perumahan di bantaran sungai, halaman rumah di semen, tidak ada pohon, sehingga mempercepat aliran air ke daerah rendah," ujar Theresia Tarigan.
Pembangunan tempat tinggal rusunawa di kota juga sangat penting, agar masyarakat tidak membangun tempat tinggal dan pengembang tidak membangun perumahan-perumahan di pinggiran kota, sehingga lahan-lahan di pinggiran kota bisa di fungsikan menjadi kebun buah dan lahan yang ditanami penghijauan. Hal ini akan sangat membantu resapan air hujan sehingga bisa mencegah terjadinya banjir.\
#ruangterbukahijau #semarang #banjir
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/article/373478/minimnya-ruang-terbuka-hijau-picu-banjir