TEMPO.CO -Pakar hukum pidana Bivitri Susanti suatu hari pernah mengobrol dengan beberapa anggota DPR mengenai revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Dia terkejut mendengar penjelasan para anggota dewan tentang maksud penguatan pencegahan korupsi yang menjadi dalih revisi UU KPK.
Menurut anggota DPR itu, kata Bivitri, yang dimaksud pencegahan ialah memberi tahu seseorang yang telah dibidik oleh KPK. Setelah diberi tahu, diharapkan orang itu akan berhenti melakukan korupsi. "Pencegahan itu misalnya ya, saya terendus melakukan langkah-langkah korupsi, maka saya harus dibilangin sudah ketahuan sama KPK, (lalu) stop deh," kata Bivitri menirukan ucapan anggota DPR dalam diskusi di Kantor ICW, Jakarta, Ahad, 3 November 2019.
Penjelasan itu bikin Pendiri Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini geleng-geleng kepala. "Itu bukan pencegahan, itu pembocoran supaya orang enggak ketangkap, saya jadi enggak mengerti logikanya seperti apa.”
Menurut Bivitri, revisi UU KPK hanya akan membuat lembaga antirasuah ini menjadi komisi pencegahan korupsi. Sebab, fungsi penindakan KPK dipreteli melalui status komisioner KPK yang bukan lagi penegak hukum, serta keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Keberadaan Dewan Pengawas diatur dalam Bab VA UU KPK hasil revisi yang telah dinomori menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019. Ketentuan tentang anggota dewan pengawas, terkait tugas, penjabat, hingga tata cara pemilihan tertuang dalam Pasal 37A sampai 37G. Salah satu tugas dewan pengawas yang mendapat sorotan adalah berwenang memberikan izin penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan barang bukti.
Tugas lain dewan pengawas yang tertuang dalam draf perubahan, antara lain mengawasi kerja KPK, menetapkan kode etik, evaluasi tugas pimpinan dan anggota KPK setahun sekali, hingga menyerahkan laporan evaluasi kepada presiden dan DPR. Dewan pengawas terdiri lima anggota, dengan seorang merangkap sebagai ketua. Untuk periode pertama, anggota dewan pengawas diangkat langsung oleh presiden tanpa mekanisme panitia seleksi dan tidak melibatkan DPR.
Presiden Jokowi sudah bersiap-siap menunjuk lima anggota Dewan Pengawas. Ia berjanji akan memilih orang-orang baik. “Percayalah yang terpilih nanti adalah beliau-beliau yang memiliki kredibilitas yang baik,” kata dia di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat, 1 November 2019.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menganggap keberadaan Dewan Pengawas membuat seolah-olah KPK dipimpin oleh 10 orang. Sebab, kewenangan lima Dewan Pengawas memberikan izin penyadapan hingga penyitaan itu masuk dalam teknis proses penyidikan. "Izin melalukan penggeledahan dan penyitaan itu satu rangkaian dengan perintah penyidikan, nah kalau mereka ikut ekspose sama dengan pimpinan, artinya di KPK seolah pimpinannya ada sepuluh," kata Alex.
Keberadaan Dewan Pengawas juga disoroti oleh tim transisi KPK yang bertugas menyisir dampak buruk dari revisi UU KPK. Hasilnya ditemukan ada 26 poin perubahan yang berpotensi melemahkan KPK. Salah satu hal yang dianggap melemahkan KPK yakni keberadaan Dewan Pengawas itu sendiri. Tim transisi menilai Dewan Pengawas lebih berkuasa daripada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas.
Selain itu, sejumlah pihak juga menilai keberadaan Dewan Pengawas juga membuat rencana operasi tangkap tangan KPK rawan bocor. Belum juga resmi dilantik, Wakil Ketua KPK terpilih Nurul Ghufron telah menyampaikan kekhawatirannya itu. Dia mengatakan keberadaan Dewas akan menyulitkan KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT). “Kemungkinan agak kesulitan melakukan OTT karena penyadapan harus minta izin, sehingga potensi kebocoran sebelum OTT bisa terjadi.”
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawanati menganggap siapapun yang akan dipilih menjadi Dewan Pengawas akibatnya akan sama buruk bagi KPK. Sebab, menurut UU KPK yang baru, posisi Dewan Pengawas lebih berkuasa dari komisioner, sedangkan aturan kode etiknya lebih lemah dan mekanisme pemilihannya dilakukan dengan lebih sederhana.
Ia meminta publik tidak terjebak dengan ‘politik orang baik’ (Presiden Jokowi) yang melihat posisi dalam tata negara sebagai orang. “Ini sistem. Jadi siapapun yang dipilih (sebagai dewan pengawas), dia sudah di bawah cengkeraman Presiden,” kata Asfina.
Subscribe: https://www.youtube.com/c/tempovideochannel
Official Website: http://www.tempo.co
Official Video Channel on Website: http://video.tempo.co
Facebook: https://www.facebook.com/TempoMedia
Instagram:https://www.instagram.com/tempodotco/
Twitter: https://twitter.com/tempodotco
Google Plus: https://plus.google.com/+TempoVideoChannel