Tahukah Anda mengenai tarian tertua di tanah Jawa? Jawabannya adalah Jathilan atau yang biasa disebut Jaran Kepang.
Jathilan sendiri berasal dari dua kata dalam Bahasa Jawa, yaitu Jan yang artinya benar-benar, dan thil-thilan yang berarti banyak gerak. Istilah ini umumnya lebih banyak digunakan oleh masyarakat di daerah Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Dalam tari Jathilan, para penari terlihat mempertontonkan banyak aksi yang menyimbolkan kegagahan seorang prajurit di medan perang. Mereka bergerak bak aksi menumpas musuh dengan pedangnya sambil menunggangi kuda yang berderap kencang.
Namun dalam aksinya, penari jathilan tak menunggangi kuda sungguhan, melainkan menggunakan kuda tiruan yang dibuat dari anyaman bambu atau kulit binatang. Kuda ini kemudian disebut sebagai kuda kepang.
Kesurupan dan makan pecahan kaca
Penari Jathilan biasanya tampil dalam balutan kostum prajurit yang berwarna merah, kuning, atau hitam.
Bentuk pakaiannya berupa kemeja atau kaus lengan panjang, setagen, ikat pinggang bergesper, selempang bahu, celana sebatas lutut, selendang pinggang, kain ikat kepala, dan hiasan telinga.
Mereka juga umumnya tampil dalam riasan yang mencolok atau mengenakan kacamata hitam.
Dalam proses menari, biasanya para penari menarikan lakon yang serupa, yakni tentang kehidupan para prajurit di masa Kerajaan Majapahit dimana mereka diganggu oleh bermacam-macam musuh, mulai dari Barongan (singa) hingga Genderuwo.
Gerakan para penari terlihat begitu dinamis, agresif, serta sangat gagah berani saat melawan musuh.
Tarian Jathilan dikenal sebagai tarian yang identik dengan unsur magis. Tak jarang penari Jathilan dirasuki roh halus dan mengalami kesurupan. Bahkan, penonton pun bisa ikut kesurupan, lho.
Kalau sudah begitu, biasanya sang penari yang tengah kesurupan akan meraih apa saja yang ada di hadapannya.
Entah itu rumput, kelapa, bahkan pecahan kaca. Seolah mendapat kekuatan gaib, penari pun unjuk gigi dengan melakukan berbagai aksi berbahaya, seperti mengunyah pecahan kaca, memakan rumput, juga mengupas kelapa dengan gigi.
Penari juga menunjukkan kekebalan tubuhnya dengan cara menyayat lengan, membakar diri, atau berjalan di atas pecahan kaca. Ajaibnya, tubuh sang penari sama sekali tak memar atau terluka setelahnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para warok atau orang yang memiliki kemampuan supranatural.
Kehadirannya dapat dikenali melalui baju serba hitam bergaris merah dengan kumis tebal. Para warok ini akan memberikan penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih