ACEH, KOMPAS.TV - Perajin Khairul Fajri, pria berusia 35 tahun telah membuat dan melestarikan kearifan lokal khas Aceh, melalui Ija Kroeng, yakni kain sarung khas Aceh yang dia kembangkansejak tahun 2015.
Ia membuat kain ini berbeda, lantaran produknya dibuat dari bahan-bahan yang diimpor langsung dari India. Selain promosi dan penjualan langsung di rumah, Khairul juga memanfaatkan media sosial untuk menjual produknya.
Usahanya berjalan secara bergerilya tanpa branding sejak 2010 hingga 2013 di Jakarta. Lalu berlanjut pertengahan 2014 di Aceh. Sebelum mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dia memformulasikan ulang bagaimana cara berbisnis dengan merek lokal. "Semaksimal mungkin tak bergantung kepada pihak luar Aceh. Kecuali bahan, segalanya bersumber dan dibuat di Aceh. Hingga di-branding secara resmi pada Maret 2015, hak cipta Ija Kroeng pun terdaftar di Ditjen HAKI Kemenkum dan HAM RI," kisahnya.
Pada 2015 lalu, setahun keberadaannya di Aceh. Permintaan Ija Kroeng kembali melejit dan terciptanya pasar, banyak permintaan terhadap Ija Kroeng hitam putih polos. Produser besar nasional tidak menjawab kebutuhan pasar ini. Dengan modal branding yang telah terdaftar, Ija Kroeng mulai unjuk gigi. "Sebab dibuat di Aceh, Ija Kroeng bisa dipatenkan dengan made in Aceh. Namun tidak bisa seperti itu seandainya diproduksi di luar Aceh meskipun memakai nama Aceh sebagai mereknya. Jadi segala sesuatu yang dibuat di tempat itu harus menggunakan made in daerah itu," katanya.
Suami Rakhila, 27, mengisahkan, produk yang lahir dari sejarah sangatlah kuat. Apalagi saat ini, ada orang menciptakan sejarah dari produk. Menurutnya, semua diciptakan untuk mendukung produk. Melalui Museum Aceh, sejarawan, dan mesin pencari Google, dia memperoleh informasi Ija Kroeng lebih tua daripada kata-kata kain sarung. "Apalagi Islam pertama masuk dari Aceh," kenangnya.