JAKARTA, KOMPAS.TV - Dalam hitungan hari, sikap pemerintah soal wacana impor beras, berubah.
Sempat akan impor satu juta ton, kini keputusan itu dipikir-pikir kembali, menyusul protes petani yang sebentar lagi panen raya, dan data BPS yang menunjukkan produksi dalam negeri surplus.
Wacana impor beras seberat 1 juta ton ini pernah dipertanyakan sejumlah pihak. Salah satunya dari Partai Solidaritas Indonesia, PSI.
Ketika pemerintah pertama kali menyatakan akan impor beras, dasarnya apa? Mana data yang mendukung wacana ini? Di mana letak masalahnya?
Dirut Perum Bulog menyatakan, pihaknya belum menjalankan impor, meski sudah menerima penugasan tertulis dari pemerintah.
Namun, Menteri Perdagangan menyatakan, data cadangan beras pemerintah, CBP, atau yang kerap disebut sebagai iron stock bulog, ada di bawah jumlah wajar, tak sampai 1 juta ton.
Miskoordinasi antara sekian banyak pihak, yakni Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Bulog, Menko Perekonomian, hingga BPS, membuat Menteri Perdagangan mengeluarkan pernyataan ini.
Pemerintah mesti menyadari, polemik wacana impor beras ini menunjukkan ada masalah mendasar, tidak sekadar miskoordinasi antar-lembaga.
Lagi-lagi kasus ini menjadi peringatan pentingnya komunikasi kebijakan yang matang dari pemerintahan Presiden Jokowi.
Tak hanya matang dikomunikasikan di internal pemerintah, tetapi matang pula saat disampaikan kepada publik.
Melempar wacana kebijakan tidak boleh sembarangan, karena efeknya panjang, akan berdampak besar pada masyarakat, bahkan untuk dampak yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Apalagi, kalau munculnya di tengah pandemi, mengundang kegundahan di saat krisis membayangi.
Di saat seperti ini, yang mestinya dikedepankan adalah situasi kondusif dan stabil, agar masyarakat bisa menghadapi kesulitan dengan sebaik-baiknya. Kegaduhan memang bisa diselesaikan dengan klarifikasi, tetapi dampak psikologisnya belum tentu selesai ketika konfirmasi disampaikan.