Menurut The Economist Inteligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia terpuruk dalam 14 tahun terakhir.
Skor demokrasi Indonesia 6,3 dan berada di urutan ke 64. Indonesia berada di bawah Malaysia, Timor Leste dan Filipina.
Lima indikator yang digunakan EIU untuk mengukur indeks demokrasi Indonesia adalah pemilu dan pluralisme (7,92); kinerja pemerintah (7,50), partisipasi politik (6,11), budaya politik (4,38) dan kebebasan sipil (5,59).
Rapor merah demokrasi Indonesia terdapat pada indikator budaya politik dan kebebasan sipil. EIU menempatkan Indonesia dalam negara dengan demokrasi yang cacat.
Perdebatan soal turunnya kualitas demokrasi, ditanggapi Presiden Jokowi 8 Februari 2021, Presiden meminta masyarakat mengkritik.
Sehari kemudian, 9 Februari 2021, kesediaan pemerintah menerima kritik diamplifikasi Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
"Bagi pemerintah kebebasan pers, kritik, saran masukan itu seperti jamu. Menguatkan pemerintah. Kita memerlukan kritik yang terbuka, kritik yang pedas, kritik yang keras. Karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun lebih terarah dan lebih benar," ujar Pramono Anung. (9/2/2021).
Wapres Jusuf Kalla dalam acara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga berbicara soal kritik. Pak JK bertanya,
"Bagaimana mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Ini tentu menjadi bagian upaya kita semua," kata JK. Sabtu (13/2/2021).
Pasal karet dalam UU ITE menjadi penyebab kebebasan bereskpresdi direpresi. Publik menjadi takut berbicara.
Kelompok masyarakat bisa langsung mewakili pihak tertentu menjadi pelapor, padahal status legalnya tidak jelas. Penegakan hukum dalam UU ITE, tidak sama. Ada yang ditindakanjuti, ada yang tidak ditindaklanjuti.
Sebelum langkah revisi ditempuh, bijak bermedia sosial harus jadi panduan. Kritik adalah energi bagi demokrasi.
Literasi digital menjadi penting. Pedoman penanganan pelaporan kasus ITE perlu dibuat agar tafsirnya tegas dan jelas bukan menjadi karet.