JAKARTA, KOMPAS.TV - Dunia aviasi Indonesia kembali diuji. Pesawat Sriwijaya SJ-182, rute Jakarta-Pontianak, yang membawa 62 penumpang beserta awak pesawat jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta. Proses pencarian puing pesawat dan korban masih terus dilakukan. Hingga pada Selasa (12/01), tim gabungan telah menemukan Flight Data Recorder (FDR) yang merupakan bagian dari "kotak hitam" pesawat, di perairan Laut Jawa.
Belakangan, bagian dari Cockpit Voice Recorder (CVR) juga bisa diangkat, meskin tak lagi utuh. Dua benda ini yang akan dijadikan sumber analisis penyebab kecelakaan.
Sriwijaya Air SJ-182 diketahui hilang kontak pukul 14.40 WIB pada Sabtu (9/1/2021), 4 menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Berdasar hasil analisa awal, burung besi berusia 26 tahun ini tercatat terjun bebas dari puncak ketinggian 3.322 mdpl hingga 76 mdpl. Pada saat menyentuh air, diduga mesin pesawat belum mati sehingga masih mengirimkan data koordinat, ketinggian, dan kecepatan. Data radar yang diperoleh KNKT dari Airnav Indonesia, juga menunjukkan demikian.
Meski Kementerian Perhubungan melalui rilis resmi menjelaskan pesawat jenis Boeing 737-500 itu laik terbang, ada sejumlah perkiraan berkembang berdasarkan kondisi sesaat sebelum kecelakaan, yaitu cuaca buruk, komponen, dan kendali pesawat yang bermasalah.
Tanpa bermaksud mendahului penyelidikan KNKT, jurnalis Kompas TV Aiman Witjaksono, melakukan simulasi terbang bersama praktisi penerbangan, Captain Vincent Raditya.
Selain itu, Aiman juga mewawancarai Ketua KNKT 2007-2015, Marsekal Muda (Purn) Tatang Kurniadi dan pengamat penerbangan, Alvin Lie, untuk mengetahui analisa mereka tentang kecelakaan yang terjadi pada Sriwijaya Air berdasar pengalaman mereka. Apakah cuaca dan komponen mesin yang bermasalah bisa menyebabkan kecelakaan? Apa yang harus dilakukan?