JAKARTA, KOMPAS.TV - Belajar dari dampak kebijakan yang selama ini diambil pemerintah, seharusnya kita tidak lagi gamang.
Langkah yang diambil atau tidak diambil pemerintah, seharusnya sudah bisa dievaluasi secara menyeluruh dan jujur.
Dampak pandemi yang berkepanjangan juga seharusnya sudah bisa dihitung.
Setelah 10 bulan pandemi, seharusnya pemerintah bisa mengambil keputusan yang komprehensif berdasarkan data dan masukan para scientist dilakukan secara cepat dan tepat dan memastikan masyarakat bisa terlibat aktif di dalamnya.
Maret lalu kita sudah banyak berdebat soal karantina wilayah dan serangkaian keputusan sudah diambil, beserta segala dampaknya.
Kini ketika kita dihadapkan pada risiko penularan mutasi virus corona di Inggris dan beberapa negara lain, pelarangan warga negara asing masuk ke Indonesia masih saja tertatih-tatih.
Bukan saja keputusan pelarangan WNA masuk dianggap kurang cepat, di hari pertama pemberlakuannya, masih ada 1.700an WNA bisa lolos masuk Indonesia.
Katanya sih, bakal dikarantina.
Tetapi banyak video beredar di media sosial, lokasi isolasi ternyata tidak dijaga dan para WNA mengaku sebenarnya bisa saja dengan mudah keluar dari lokasi isolasi.
Begitu pula soal keputusan sekolah tatap muka.
Pemerintah pusat mempersilakan daerah memutuskan ada-tidaknya sekolah tatap muka dan direspons beragam oleh berbagai provinsi.
Daerah yang merasa wilayahnya masuk zona hijau sangat percaya diri membuka belajar tatap muka.
Masalahnya, dalam kondisi testing dan tracing yang rendah, benarkah zonasi hijau, kuning, atau merah, benar-benar menunjukkan kondisi yang sebenarnya?
Tanpa testing yang memadai, bagaimana bisa yakin anak-anak yang bersekolah tidak bakal terinfeksi Covid-19 lalu menularkannya kepada guru, orangtua, atau keluarga yang lain?
Lalu akankah pengawasan sarana-prasarana belajar bisa maksimal demi memastikan keselamatan anak-anak?