JAKARTA, KOMPAS.TV - Hingga sebulan jelang pelaksanaan pilkada serentak, kampanye tatap muka masih mendominasi pelaksanaan kampanye pilkada di seluruh wilayah Indonesia.
Sebagian besar pasangan calon peserta Pilkada memilih kampanye tatap muka yang diwarnai pelanggaran protokol kesehatan.
Bawaslu menyatakan sebanyak 397 pasangan calon melanggar protokol kesehatan dalam kampanye tatap muka mereka dan 56 paslon di antaranya dibubarkan saat berkampanye.
Meskipun pelaksanaan tahapan pilkada berlangsung dalam situasi pandemi covid-19, nyatanya kampanye tatap muka tetap dominan, sedangkan kampanye daring terbilang minim.
Namun, minimnya kampanye daring tak lantas menihilkan dugaan pelanggaran kampante di media sosial.
Akhir Oktober lalu, Warga Sidoarjo digegerkan dengan beredarnya sebuah video yang viral di media sosial.
Dalam sebuah ceramah, seorang pemuka agama dianggap berkampanye dan memojokkan dua Paslon Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo.
Dugaan kampanye berbau SARA ini telah dilaporkan ke Panwascam setempat dan panitia acara pun langsung dipanggil. Dugaan pelanggaran kampanye di media sosial juga terjadi di Surabaya.
2 November lalu, gerakan mahasiswa jaman melaporkan paslon nomor satu Surabaya, Eri Cahyadi - Armuji ke Bawaslu Surabaya dengan dugaan kampanye melibatkan anak di bawah umur.
Pelapor menyertakan bukti lampiran foto dan bukti digital di media sosial instagram milik @tangkitchen.
Bawaslu memperkirakan kampanye di media sosial akan sulit diawasi terutama terhadap akun media sosial yang bukan resmi milik tim kampanye.
Konten kampanye di media sosial diperkirakan akan sulit diawasi pada masa tenang pilkada serentak 2020.
Mengapa konten kampanye di media sosial sulit diawasi dan bagaimana cara terbaik mengatasi kemungkinan munculnya kampanye negatif di dunia maya?
Simak dialog selengkapnya bersama Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan dan Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini.