JAKARTA, KOMPAS.TV - Hari ini Badan Pusat Statistik alias BPS akan mengumumkan seberapa dalam Indonesia melewati resesi.
Jangan panik dulu dengan kata resesi, tetapi juga jangan kelewat optimistis karena ini membuat lengah. Pahami secara benar makna resesi, agar tidak salah langkah untuk bangkit.
Membahas resesi, atau kondisi ekonomi, adalah berbicara tentang dapur setiap rumah tangga.
Sudah sejak awal pandemi, ancang-ancang memasuki gerbang resesi, banyak didiskusikan. Tetapi, konfirmasi resesi, hanya diberikan oleh badan pusat statistik, alias BPS.
Secara ilmu ekonomi, resesi adalah pertumbuhan negatif, dalam dua kuartal berturut-turut, dalam hitungan tahunan.
Sederhananya seperti grafis yang muncul di layar. Jika kuartal dua dan tiga negatif, maka "Sah" kita bilang Indonesia menjalani resesi.
Jangan buru-buru kalang-kabut. Kondisi semacam ini, tidak menimpa Indonesia saja. Melainkan "Merundung" 95 persen negara di dunia.
Di awal November 2020, Presiden Joko Widodo mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal ntiga, negatif 3 persen. Lebih pesimistis ketimbang hitungan menteri keuangan Sri Mulyani, di level minus 2,9 persen.
Tetapi lagi, apapun konfirmasi dari BPS, resesi atau pertumbuhan ekonomi, adalah lagging indicator, alias indikator ikutan, yang konfirmasi datanya memang selalu terlambat.
Sebenarnya, yang perlu dikhawatirkan adalah jika resesi memburuk, berubah menjadi depresi. Oleh sebab itu, fokus sekarang adalah ke pemulihan, bukan pada diskusi "Resesi".
Selalu ada ongkos yang wajib dibayar, atas sebuah kerusakan ekonomi. Pagu negara senilai 695,2 triliun rupiah, cair melalui program pemulihan ekonomi nasional. Tetapi, realisasinya pada Oktober baru sekitar 52 persen.
Benar, resesi adalah angka yang sudah kita lewati pada periode April sampai September lalu. Saatnya mengambil keputusan untuk bangkit. Tetapi juga jangan kelewat optimis.