JAKARTA, KOMPAS.TV - Peretasan akun media sosial dan penangkapan sejumlah aktivis, beberapa kali terjadi dalam setahun pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Hasil survei Litbang Kompas, menunjukkan, kondisi ini cukup memengaruhi kepercayaan publik kepada pemerintah.
Persoalan kebebasan berpendapat ini disorot, karena yang dilemahkan adalah mereka yang bersuara kritis.
Hanya dalam hitungan hari sejak unjuk rasa menolak undang-undang cipta kerja meluas sejak 6 Oktober, para petinggi koalisi aksi menyelamatkan Indonesia atau kami, dicokok dan jadi tahanan bareskrim Polri.
Di antaranya, Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, dan Anton Permana.
Polisi menjerat para petinggi kami ini, dengan pasal penyebaran berita bohong, yang berisi hasutan, dan ujaran kebencian di media sosial, terkait aksi penolakan undang-undang cipta kerja.
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia mencurigai, ada kejanggalan di balik proses penangkapan dan penetapan tersangka serta proses hukum yang begitu cepat, terhadap aktivis KAMI.
Dugaan pelemahan terhadap mereka yang bersuara kritis, juga terjadi pada agustus lalu. Pada 19 Agustus 2020, akun twitter pribadi milik Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono diretas.
Dalam unggahannya, yang sempat viral di media sosial, terdapat kata-kata bernada yang tidak biasanya dibagikan Pandu. Selain itu, juga ada unggahan foto pandu bersama seorang perempuan.
Pandu Riono yang dikonfirmasi kompas.com saat itu, membenarkan bahwa akun twitternya telah diretas.
Pandu Riono selama ini rajin mengkritisi kebijakan dan aturan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19
Mundur lagi, 22 April 2020 lalu, Peneliti Kebijakan Publik dan Aktivis Demokrasi, Ravio Patra, juga sempat ditangkap polisi, atas dugaan penyebaran pesan berisi provokasi untuk menjarah pada 30 April 2020, lewat aplikasi pesan whatsapp.
Meski demikian, kantor staf presiden mengklaim, selama ini pemerintahan Jokowi-Ma'ruf berkomitmen menjaga iklim demokrasi.