JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengesahan RUU Cipta Kerja, 5 oktober 2020 justru menciptakan demonstrasi. Demo memprotes undang-undang. Kelompok buruh, akademisi perguruan tinggi, LSM memprotes RUU Cipta Kerja.
RUU Omnibus Law, Cipta Kerja adalah eksperimen konstitusional.
Revisi UU, mengubah 76 UU lainnya melalui mekanisme omnibus yang sebenarnya belum dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
Akibatnya, bisa dimegerti RUU Ciptakerja itu mengatur 11 kluster hukum yang rumit, kompleks dan bisa multi tafsir dari urusan tenaga kerja, investasi, perizinan, soal lahan, soal produk halal, tenaga listrik, pendidikan, diatur dalam UU yang halamannya saja bisa mencapai 900 halaman.
Di antara semua isu, yang paling mencipta demo adalah soal tenaga kerja. Buruh keberatan, namun pemerintah mengatakan, buruh belum membaca draf secara utuh.
Lalu, mengapa gelombang protes terjadi? Pertama, pembahasan RUU Cipta Kerja yang tergesa-gesa, cenderung tertutup, dan tidak sepenuhnya melibatkan publik.
Kedua, RUU Cipta Kerja dibahas pada masa pandemi sehingga keterlibatan publik akan sangat minim, desakan untuk menunda pengesahan pun diabaikan.
Ketiga, ini lebih menyangkut prinsip-prinsip dan implementasi pasal 33 UUD 1945, soal kekayaan alam dikuasai oleh negara.
Keempat, secara subtansi RUU Cipta Kerja bisa ditafsirkan merugikan buruh. Namun ada juga yang menyebut, itu melindungi buruh.
Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Pertama, aspirasi bisa saja disampaikan, namun tetap perlu dalam koridor konstitusi. Terlebih di era pandemi, RUU Cipta Kerja masih butuh waktu diundangkan.
Kedua, jalur koreksi bisa dilakukan melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi. Di MK bisa dilakukan uji formil, maupun uji materiil.
Ketiga, jika gelombang unjuk rasa tak kunjung mereda, presiden bisa menerbitkan PERPPU penundaan pemberlakukan UU Cipta Kerja dan secara bersamaan mengajukan revisi pasal-pasal jika dipandang bermasalah.
Keempat, dengan kewenangan yang ada pemerintah bisa bernegosiasi dengan kelompok buruh.