KOMPAS.TV - Undang-Undang Cipta Kerja yang baru disahkan oleh DPR, terus menuai penolakan. Meskipun kondisi masih berada dalam masa pandemi, berbagai elemen, terutama buruh dan mahasiswa di sejumlah daerah, turun ke jalan menyampaikan aspirasi mereka.
Di tengah masifnya penolakan masyarakat, sejumlah Menteri menggelar jumpa pers di gedung Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, untuk menjelaskan manfaat Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Para Menteri mengklaim, UU Cipta Kerja memberikan kepastian hukum bagi penciptaan lapangan kerja, mempermudah perijinan usaha mikro kecil dan menengah serta memberi perlindungan lebih bagi buruh yang bekerja dalam sistem kontrak.
Ekonom Senior Faisal Basri punya pendapat lain. Menurutnya, Undang-Undang Cipta Kerja lebih menitikberatkan kepentingan investor dibanding buruh.
Sejauh ini, kalangan buruh masih bergeming dengan penjelasan pemerintah. Bahkan, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) tengah menyiapkan gugatan uji materi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. KSPSI juga mengingatkan buruh untuk tetap tertib dalam berunjuk rasa.
Selain rencana uji materi ke Mahkamah Konstitusi, ada opsi lain berupa pembatalan UU Cipta Kerja melalui mekanisme penerbitan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Meski realisasinya sulit, PKS dan Demokrat mendesak Presiden Jokowi mencabut UU Cipta Kerja dengan penerbitan Perppu, karena menilai Omnibus Law mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial akan berlaku dalam waktu 30 hari sejak disahkan oleh DPR.
Bagaimana peluang menggugat omnibus law secara konstitusional melalui judicial review di mahkamah konstitusi? Bagaimana kemungkinan penerbitan Perppu oleh presiden?
Simak dialog selengkapnya bersama Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea, dan Pakar Hukum Tata Negara, Zainal Arifin Mochtar.