JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemerintah serta DPR dan penyelenggara pemilu secara bersama sepakat dan bersikukuh tetap melaksanakan pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang.
Padahal sejumlah pihak telah mengusulkan agar pilkada kembali ditunda demi mencegah penularan Covid-19 yang lebih luas.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan Presiden Joko Widodo sudah menegaskan penyelenggaran pilkada tidak bisa menunggu pandemi berakhir.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Syadzily menyebut pelaksanaan pilkada harus diterapkan dengan protokol Covid-19 yang ketat.
Termasuk adanya sanksi kepada calon kepala daerah yang melakukan kampanye terbuka.
Namun banyak pihak yang meminta agar pilkada serentak ditunda.
Dua organisasi keagamaan PP Muhammadiyah dan PBNU kompak meminta pemerintah, KPU, partai politik dan semua pihak terkait untuk mengutamakan keselamatan masyarakat.
Alasan yang sama juga disampaikan Wakil Presiden RI periode 2004-2009 dan 2014-2019, Jusuf Kalla.
Ia menyebut, tahapan pemilihan yang paling penuh risiko adalah saat kampanye dan pencoblosan dimana kerumuman orang tidak bisa dihindari, sehingga bisa menyebabkan munculnya klaster baru.
Jusuf Kalla menambahkan ada korelasi antara penyebaran Covid-19 dengan persentase jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya.
JK mencontohkan di pemilu Queensland, Australia, yang digelar 28 Maret lalu, jumlah pemilihnya hanya 77,3 persen.
Padahal sebelumnya jumlah pemilihnya mencapai 83 persen.
Hal yang sama terjadi di pemilu lokal Perancis, Maret lalu.
Dimana jumlah pemilih sebanyak 44,7 persen dari 63 persen sebelumnya.
Sedangkan di pemilu Iran yang diselenggarakan di awal penyebaran Covid-19, jumlah pemilih hanya 40 persen terendah sejak revolusi Iran pada 1079.
Pilkada serentak akan digelar di 270 daerah.
Pilkada ini akan memilih 9 Gubernur-Wakil Gubernur, 224 Bupati-Wakil Bupati, dan 37 Wali Kota-Wakil Wali Kota.