KOMPAS.TV - Seiring ledakan kasus covid-19 di tanah air, Polri merekrut sejumlah anggota ormas dan tokoh masyarakat untuk ikut mengawasi penerapan protokol kesehatan oleh warga.
Jumat pekan lalu (11/09/2020), Polda Metro jaya menggandeng 18 komunitas dan ormas di kawasan pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat untuk menggerakkan anggota mereka sebagai penegak disiplin protokol kesehatan. Salah satu tugasnya, membantu pengawasan pemakaian masker.
Polemik perekrutan anggota ormas yang kerap diidentikkan dengan preman, berawal dari pernyataan Wakil Kepala Polri, Komjen Gatot Eddy Pramono, mengenai pelibatan yang ia sebut sebagai "jeger" dalam pengawasan protokol kesehatan di pasar.
Belakangan, dalam rapat kerja komisi III DPR pada hari Senin, Wakapolri meluruskan pernyataannya, dan membantah polri telah merekrut preman. Komjen Gatot Eddy menjelaskan, istilah "jeger" yang ia maksud adalah pihak yang dituakan dalam komunitas informal di pasar. Mereka dirangkul untuk membantu penegakan protokol kesehatan, dan bukan untuk menegakkan perda.
Pelibatan anggota ormas dan preman dalam pengawasan penerapan protokol kesehatan menuai polemik. Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, menilai pelibatan ormas untuk menertibkan protokol kesehatan berbahaya.
Sementara itu, Menkopolhukam Mahfud MD ikut menanggapi polemik pelibatan preman dan anggota ormas. Mahfud menyebut preman bukan penjahat, melainkan warga masyarakat yang tidak mengacu pada kedinasan atau keanggotaan tertentu dan diberi tugas untuk membantu petugas.
Pelibatan masyarakat memang menjadi salah satu kunci dalam perang terhadap pandemi covid-19. Disiplin masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan akan lebih baik muncul dalam wujud kesadaran warga dan bukan paksaan.
Simak dialog selengkapnya bersama Komisi Hukum DPR, Didik Mukrianto, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Kompolnas Poengky Indarti, dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri.