JAKARTA, KOMPAS.TV - Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, badan pusat statistik, lalu Kementerian PPN dan Bappenas, satu suara, bahwa ekonomi kuartal dua yang sepekan lagi berakhir, akan tumbuh negatif.
Hanya saja angkanya yang berbeda-beda. Secara teknis, jika pertumbuhan ekonomi Indonesia Negatif, apakah artinya sudah resesi?
Efek jahat Covid-19 semakin menggerogoti tubuh ekonomi. Gelombang PHK, lonjakan kemiskinan, daya beli anjlok, ekspor impor tersendat, inilah detik-detik Indonesia semakin dekat dengan jurang resesi.
Tinggal satu pekan, kuartal dua berakhir. Tetapi, antar lembaga negara punya proyeksi makro ekonomi yang berbeda. Kesamaannya hanya satu, yaitu semuanya memproyeksi ekonomi negatif.
Pada proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal dua, Kementerian Keuangan merilis angka negatif 3,8 persen. Badan pusat statistik minus 4,6 persen, Kementerian PPN dan Bappenas lebih dalam ke minus 5 persen, mendekati megatif 6 persen.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, perbedaan ini menjadi bukti, sangat tidak pastinya pertumbuhan ekonomi.
Kekhawatiran resesi semakin menyengat di tahun ini. Tetapi, penjaga fiskal dan moneter yakin, ekonomi tahun depan akan berbalik.
Di 2021, kementerian keuangan punya asumsi, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bergerak antara 4,5 persen sampai 5,5 persen, dengan kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat 14.500 sampai 15.500.
sedangkan bank indonesia, punya proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan di 5 sampai 6 persen dan rupiah 13.700 sampai 14.300.
Asumsi ini, menurut ekonom, akan mempengaruhi atusiasme investor, apakah membeli surat utang indonesia atau tidak.
Kembali ke proyeksi pertumbuhan ekonomi negatif di kuartal dua.
Apakah Indonesia sudah pasti resesi? Jawabannya belum tentu. Sebab, Indonesia bisa disebut resesi jika, secara teknis, di kuartal tiga ekonominya juga negatif.
Resesi atau tidak, semua akan bergantung pada iklim dunia usaha dan daya beli, yang menunggu badai Covid-19 sirna.