Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera menuai polemik. Program pembiayaan kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25/2020 ini dikritik kalangan pekerja dan pengusaha karena dinilai membebani di tengah keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Hal ini lantaran seluruh pekerja (ASN, karyawan BUMN, BUMD, swasta, dan anggota TNI-Polri) diwajibkan menjadi peserta dengan membayar iuran bulanan melalui pemotongan gaji. Sebagian komponen iuran juga harus ditanggung oleh pemberi kerja. Sebelum ada Tapera, gaji pekerja sudah dikenakan berbagai pemotongan setiap bulannya untuk berbagai iuran wajib pemerintah.
Manfaat Tapera juga tak lepas dari kritik karena dinilai berduplikasi dengan sejumlah program asuransi wajib lainnya yang telah diikuti oleh para pekerja, antara lain BPJS Ketenagakerjaan yang juga memiliki program pembiayaan perumahan dan tabungan pensiun.
Kalangan ekonom mengkhawatirkan Tapera sebagai akal-akalan pemerintah untuk mendapatkan alternatif pembiayaan menutup defisit anggaran dari pemulihan ekonomi akibat pandemi. Dana yang dihimpun melalui Tapera diperkirakan mencapai puluhan triliun setiap tahunnya.
Pemerintah sendiri beralasan program Tapera merupakan bentuk gotong-royong untuk memenuhi kebutuhan rumah warga negara. Lantas, apakah Tapera menjadi solusi perumahan rakyat?