"Jangan sekali-kali mau menjadi pahlawan. Kepahlawanan itu mahal dan tidak penting menjadi pahlawan. Yang penting ialah kita menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kita sebaik-baiknya."
Pencetus kalimat itu ialah Bacharudin Jusuf Habibie yang Rabu (11/9) sore kemarin mengembuskan napas damainya yang terakhir di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, pada usia 83 tahun. Kepergian Presiden ke-3 RI itu sekaligus menandai purnanya tugas seorang tokoh yang lebih dari dua pertiga hidupnya didarmabaktikan bagi bangsa ini.
Indonesia jelas kehilangan. Meskipun tak ingin menjadi dan disebut pahlawan, Habibie tetap akan dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan demokrasi. Ia adalah tokoh paling sentral di antara tokoh-tokoh lain dalam sejarah transisi kepemimpinan dari zaman Orde Baru menuju era reformasi.
Pada satu kesempatan Habibie pernah mengungkapkan, selama 517 hari menjabat Presiden RI, ia hanya fokus mengatasi permasalahan bangsa dan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat. Ia tak sekadar berhasil, malah hasilnya lebih dari itu. Dalam periode singkat masa kepemimpinannya, Habibie bahkan dianggap sukses membangun fondasi yang kukuh bagi demokrasi Indonesia.
Di era Habibie-lah sistem multipartai di Indonesia dimulai. Di periode pemerintahan itu pula bisa ditelurkan hingga 113 undang-undang baru setiap hari. Salah satunya UU tentang Penyelenggaraan Pemilu yang memungkinkan pemilu digelar lebih cepat, yakni pada 1999, juga UU tentang Otonomi Daerah yang fenomenal. Ia juga dikenang sebagai pembuka gerbang kebebasan pers di negeri ini.
Selamat Jalan Bapak Teknologi, Selamat Jalan Bapak Demokrasi